Debat sering diartikan sebagai kontestasi argumen yang akan membawa ke arah konflik tertentu. Namun tidak semuanya benar. Debat yang baik dengan menggunakan bahasa yang santun, lembut penuh kasih, serta yang berdasarkan logika dan sumber-sumber sastra suci dan hasil penelitian tertentu justru akan menumbuhkan emansipasi intelektual, sikap multikulturalisme dan kepekaan sosial. Berdiskusi ala debat mempercepat mahasiswa memiliki kemampuan handal dalam berkomunikasi ataupun kemampuan mempertahankan/memperjuangkan arah kebenaran tertentu.
Kata ‘debat’ bukan suatu hal yang baru atau asing lagi. Secara etimologi debat berasal dari bahasa Inggris, yaitu debate yang artinya “a discussion in which reasons are advanced for and against some proposition or proposal” atau ‘the formal presentation of a stated proposition and the opposition to it (usually followed by a vote)”. Dalam Bahasa Kawi, Debat juga dikenal dengan istilah Sawala yang berarti berpatokan atau berpegang teguh pada sebuah pendapat/argumen tertentu dalam strategi beradu pendapat untuk saling mengalahkan atau memenangkan wacana. Dalam sebuah perdebatan yang riil (dalam situasi sosial tertentu) posisi kontra dan pro secara alami berasal dari sebuah pandangan yang berbeda. Perbedaan sistem pengetahuan atau nilai budaya yang dianut oleh seseorang dapat menjadi sumber debat. Salah satu sumber konflik bisa saja dikarenakan oleh perdebatan yang bersumber dari perbedaan yang mencolok atau bersifat kontra dalam interaksi budaya tertentu. Namun debat yang dilakukan secara benar justru dapat berfungsi untuk penanganan sebuah konflik. Konflik bisa direda dengan debat yang santun dan profesional yang dapat membawa semuanya dalam kondisi pencerahan intelektual (emansipasi intelektual). Debat yang berhasil adalah ketika semuanya dapat dipuaskan dengan pengetahuan yang benar sehingga semua tercerap dalam pengertian yang dalam akan kebenaran (walaupun debat akan diwarnai oleh beribu kata pro dan kontra (binary oppotition) namun titik akhirnya adalah keheningan (silence), keheningan mendalam akan pemahaman cahaya kebenaran). Cahaya kebenaran inilah yang akan dapat mengemansipasi konflik menjadi kedamaian secara efektif.
Beda halnya dengan debat yang dilombakan. Kondisi argumen yang pro dan kontra dikondisikan dengan sistem perlombaan. Seseorang atau kelompok akan secara sadar mendukung sebuah argumen dan menolak argumen kontranya dalam topik tertentu untuk memenangkan lomba perdebatan tersebut. Juri akan melihat banyak kriteria sebagai dasar penilaian, namun yang terpenting adalah kepiawaian argumentasi ilmiah peserta, kemampuan komunikatif (verbal dan non verbal), penggunaaan sumber argumentasi yang terdiri dari tiga hal yaitu (1) menggunakan logika (analogi pola pikir) yang berasal dari sistem pengetahuan di otaknya (buddhivadin); (2) menggunakan sumber-sumber sastra suci atau hasil-hasil penelitian (Sastravadin) dan (3) menggunakan toleransi internal yang bersumber dari kemurnian cintakasih dihatinya (Premavadin). Kesimpulan yang mutakhir dan indah biasanya bersumber dari akumulasi ketiga hal ini. Kriteria minor lainnya adalah ketepatan waktu, efektivitas argumentasi, pemahaman aplikasi paradigma, strategi teoretis, teori dan metodologi dalam sebuah topik.
Debat agama memang sangat sensitif dan berisiko ketersinggungan jikalau nilai budaya antar pro dan kontra terlalu senjang. Namun jika dilakukan secara profesional maka dapat terbangun kepekaan sosial, sikap multikultural dan toleransi beragama yang tinggi. Pemahaman akan keberagaman itu indah bisa ditemukan jika yang saling berdebat dapat menemukan simpul benang merah kebenaran. Satyam Eva Jayate. By I Made Budiasa
View more: