Selamat hari raya Kuningan. Om Anu Badrah Kratavoyantu Visvanatah (semoga pikiran suci datang dari segala penjuru).

Hari suci Kuningan. yang merupakan tradisi keagamaan yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali dan di nusantara pada umumnya, dirayakan setelah perayaan hari raya Galungan. Galungan dan Kuningan merupakan satu rangkaian hari raya yang saling terkait dalam makna simboliknya. Untuk itu bagi yang belum membaca tulisan tentang Makna Spiritual Hari Raya Galungan, ada baiknya juga menelusurinya (klik di sini). Hari raya Galungan dan Kuningan dalam kepercayaan umat HIndu merupakan sebuah rangkaian hari raya yang memiliki makna yang runut makna spiritual. Sadhana spiritual dalam konteks perayaan hari suci akan menjadi lebih sempurna jika dipahami secara mendalam berbagai makna yang tersirat atau tersurat dalam rangkaian acaranya. Tentunya telah cukup banyak interpretasi atau penafsiran terhadap hari raya ini dari berbagai referensi terkait. Tulisan kali ini menelusuri makna simbolik hari raya Kuningan. Bagi yang sudah mengetahuinya tentunya hal ini sebagai renungan ulang, penguat dan mohon kritik dan saran yang membangun untuk memperkaya pemahaman terhadap hari raya Kuningan ini (mohon mengisi ruang diskusi pada bagian comment di bawah tulisan ini).
Mengacu pada Lontar Sundarigama terkait makna Hari Raya Kuningan ini, disebutkan “Saniscara Kliwon wara Kuningan payoganira Bethara Mahadewa tumurana pepareng para Dewata muang mwang Sang Dewa Pitara, asuci laksana neher memukti, maka pralingga. Aja Sira Ngarcana Lepasing Dauh, prwateking Dewata mantuk maring sunia taya, hana muah pengaci ning janma manusa, sesayut pryasita, penek kuning iwak itik putih maukem-ukem” bila diterjemahkan bebas kurang lebih memiliki makna bahwa “Sabtu Kliwon Kuningan itu bhataranya Mahadewa, itu sama dengan Sang Hyang Shiwa turun, beliau para Dewa dengan Pitara-Pitari untuk menengok keluarganya untuk memberikan restu, makanan suci dan kehidupan sebagaimana mestinya laksana suci membuat sesajen makanan selangi (nasi kuning) yang lengkap”. Hari raya ini menjadi penting dan sangat sakral karena disebutkan anugerah ataupun rahmat Sang Hyang Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Bhatara Mahadewa yang tiada lain juga merupakan Dewa Shiva bersama para leluhur (Pitara) akan turun. Hari yang penuh makna kesucian ini sudah sepatutnya dianggap sebagai hari untuk semakin semangat dalam meningkatkan sadhana spiritual, rasa bhakti, dan tentunya kesempatan untuk menghaturkan puji syukur kehadapan-Nya.
Apakah makna yang paling esensi dari hari suci Kuningan?, sebuah hari raya suci penting bagi umat Hindu yang dirayakan 10 hari setelah hari raya Galungan, dalam perhitungan kalender Bali-Jawa tepatnya pada Hari Saniscara (Sabtu) Kliwon Wuku Kuningan. Jadi periode waktu sama dengan hari raya Galungan yaitu 210 hari sekali, enam bulan sekali (dengan perhitungan setiap bulan 35 hari, jadinya 35 x 6 = 210 hari sekali). Mari kita mulai membahas tujuh makna simbolik hari suci ini.
1. Makna Kuningan sebagai ‘keuningan‘ proses mengetahui kemuliaan ‘Sang Diri’ dan introspeksi diri
Sadhana spiritual yang utama adalah mengenal sang diri sejati, sarat dengan konsep keuningan. Hal ini mengenai memunculkan pertanyaan untuk diri sendiri, mengapa kita lahir ke dunia ini?, dengan tujuan apa? siapakah diri kita sesusunguhnya? apakah selama perjalanan hidup hingga saat ini kita sudah senantiasa menjalankan dharma dan mengetahui sang diri sejati? Berbagai pertanyaan untuk diri sendiri dan menjawabnya melalui proses perenungan di dalam diri hingga diketahui (keuningan), menanyakan secara kritis menggunakan penalaran sehingga dapat menjadi pengetahuan yang tepat tentang siapa diri kita sebenarnya hingga memunculkan kebijaksanaan. Meneliti secara kritis siapa diri kita adalah salah satu makna simbolik dari hari raya Kuningan. Kuningan juga edentik dengan warna “kuning’ yang melambangkan Dewa Mahadewa, ataupun yang memiliki arti kemakmuran, kemuliaan ataupun kemenangan. Simbolik ini juga terekspresi dari persembahan nasi kuning saat rahinan Kuningan. Kuning adalah warna logam yang paling mulia yaitu emas. Emas sebagai simbol kemuliaan dan keheningan untuk mendengarkan suara Tuhan (silent is Brahman). Seringkali dalam peribahasa diungkapkan “diam adalah emas” karena emas jika dijatuhkan ataupun dipukul dengan maksud disuarakan, nyaris tidak terdengar, jika dibandingkan dengan logam yang lain. Makna yang tersirat di sini adalah untuk selalu berkarakter mulia, hening menyadari sifat atau karakter Ketuhanan, serta selalu dekat dengan Tuhan, mendengarkan sekaligus mempraktikkan ajaran-Nya. Pada hari ini selain melakukan berbagai persembahan bhakti juga dilakukan upaya instrospeksi diri (dalam sumber sastra disebutkan ‘Kuningan ngaran sinungsungan sarira‘). Introspeksi diri dan proses transformasi kesadaran untuk semakin memenangkan karakter dharma dalam kontestasinya dengan adharma (pertarungan yang cenderung ada di dalam diri sendiri). Melalui proses instrospeksi diri maka kejernihan dan kebijaksanaan (wisdom) akan didapatkan, sehingga kebenaran dan kebajikan dapat semakin dominan mewarnai kehidupan.
2) Makna Kuningan sebagai ‘keuningan‘ atau pemberitahuan
Makna ini sering kali ditulis para budayawan dan agamawan khususnya Hindu. Mengutip ungkapan Bhagavan Dwija yang mengatakan bahwa Kuningan artinya ‘keuningan atau mengadakan janji/pemberitahuan/nguningang baik kepada diri sendiri maupun kepada Tuhan/ Ida Sang Hyang Widhi Waça, akan itikad bulat untuk selalu memenangkan dharma dan mengalahkan adharma (makna simbolik antara Bhuta Dungulan, Butha Galungan dan Butha Amangkurat)’. Mendengar kata janji mengingatkan kita pada tokoh dalam sejarah pada jaman kerajaan Majapahit, hingga terbentuk Indonesia yaitu Gajah Mada yang terkenal dengan Sumpah Palapa, ataupun tokoh besar India yaitu Mahatma Gandhi atas pendidikan spiritual yang tegas dan mulia dari ibunya sendiri, akhirnya beliau memunculkan sumpah atau janji untuk senantiasa jujur. Sikap satya wacana atau konsistensi diri akan janji pada karakter kemuliaan ini membawa pada kemenangan dharma dan berbagai efek kemuliaan luar biasa lainnya.
3. Makna persiapan perang dalam lambang tamiang, ter, endongan, dan sampian gantung
Persiapan perang dalam konteks ini bukanlah perang fisik dengan persenjataan namun secara simbolik terdapat pada lambang-lambang ritual yang biasanya digunakan di hari raya Kuningan. Mari kita lihat berbagai perlengkapan yang biasa digunakan dalam rahinan Kuningan di areal rumah, merajan atau di pura-pura yaitu tamiang, ter, endongan, sampian gantung, dan persembahan lainnya. Bila dibahas satu persatu maka tampak makna simbolik persiapan perang atau pertahanan untuk selalu dalam jalan dharma dan sathya atau jalan kebajikan dan jalan kebenaran. Sathyam eva jayate (kebenaran pasti akan menang).

(1) Tamiang memiliki dua makna simbolik yaitu sebagai perlindungan atau pertahanan dari berbagai serangan. Tamiang juga memiliki makna sebagai perputaran waktu atau roda waktu yang terus berputar untuk mengungkap kebenaran. Memiliki karakter yang baik, selalu bersikap tenang, tanpa mengeluh, disiplin dengan menyadari perputaran roda waktu dan memiliki rasa syukur dan bhakti yang tinggi adalah senjata yang terbaik yang disimbolkan tamiang. Siapapun yang memiliki ini akan mengalami kesuksesan di dalam hidupnya. (2) Ter adalah simbol panah atau senjata. Makna simboliknya adalah untuk selalu siaga menggunakan modalitas di dalam diri manusia seperti pengetahuan, kebijaksanaan, pikiran, kecerdasan, perasaan, intuisi dan modalitas diri lainnya. Memasuki Abad ke-21, pada era globalisasi-digitalisasi, kini telah semakin nyata tampak konstruksi budaya siber atau dunia maya, yang sering dikonseptualisasi dalam konsep cyberspace bahkan dari banyak hasil penelitian telah melahirkan beberapa teori cyberculture. Hadirnya budaya baru ini maka telah tampak secara nyata tantangan baru yang harus dihadapi. Tamiang atau pertahanan diri sangat diperlukan dan sudah semestinya ditingkatkan ke dalam segala ranah tantangan kehidupan kontemporer. Interaksi antara soul, pikiran, tubuh dan masin telah terjadi. Media, pengetahuan dan kekuasaan menjadi relasi yang tidak terpisahkan. Praktik kebudayaan kekinian telah membutuhkan perjuangan ketahanan yang lebih kuat lagi dari berbagai dimensi baik dunia sekala, niskala maupun dunia maya. Pertahanan untuk selalu dalam kehidupan spiritual menjadi makna yang perlu digaris bawahi dalam hari raya Kuningan ini. (3) Endongan. Endongan adalah simbol logistik. Berbagai perlengkapan dalam perang yang tentunya dalam konteks ini bermakna untuk selalu siaga melawan musuh dengan memperkuat ketahanan diri. Musuh yang dimaksud di sini adalah adharma atau ketidakbenaran, utamanya lagi untuk memerangi musuh-musuh yang ada di dalam diri sendiri. Educare atau pendidikan spiritual sangat penting dilakukan sebagai salah satu upaya untuk memiliki perbekalan ini. Anak-anak dan remaja utamanya tentunya sangat penting untuk mendapatkan perbekalan pendidikan spiritual ini. Endongan yang utama adalah memiliki, bhakti dan jnana, serta karakter yang mulia. (4) Sampian gantung merupakan makna simbolik dari penolak bala. Hal ini juga tersirat dalam makna peperangan untuk selalu siaga dengan menjaga vibrasi diri dan lingkungan yang baik selalu. Alam buana alit (microcosmos) dan alam buana agung (macrocosmos), kedua-duanya dalam kemurnian. Penolak bala yang dimaksud adalah untuk meletakkan komitmen diri untuk selalu menjaga dengan penuh kesadaran kelestarian karakter diri, lingkungan fisik, sosial dan budaya yang baik.
4. Makna persembahan rasa bhakti
Pada rahinan Kuningan dari pagi hari bahkan ada yang mulai pada dini hari melakukan berbagai persembahan sebagai wujud bhakti kehadapan Tuhan Yang Maha Esa ataupun dalam wujud manifestasi Beliau, Para Dewa-dewi, Ida Bhatara-bhatari Leluhur (Dewa Pitara) ataupun roh-roh suci.

Makna persembahan pebekelan, aturan di pelinggih, biasanya seperti tebog, canang meraka, pesucian, canang burat wangi. Di pelinggih yang lebih kecil biasanya dengan persembahan nasi selangi, canang meraka, pesucian, dan canang burat wangi. Berbagai persembahan dilakukan dengan berbagai variasi berdasarkan tradisi yang berkembang berdasarkan desa, kala, patra. JIka kembali pada sumber sastra Sundarigama disebutkan ‘Saniscara Kliwon Kuningan tumurun wateki dewata kabeh mwang sang Dewa Pitara, asuci laksana…pakenanya ngening-ngening akna citta nirmala tan pegating samadhi…‘. Terjemahan bebasnya Sabtu Kliwon Kuningan saat ini hadir dengan rahmat-Nya para Dewata dan Roh-roh suci leluhur, sucikan perbuatan…selalu memurnikan diri, menyucikan pikiran tiada henti memusatkan pikiran pada Tuhan, melakukan samadhi. Berbagai kegiatan yang suci dan persembahan yang dilakukan memiliki makna simbolik sebagai wujud rasa bhakti dan puji syukur atas kehidupan ini, permohonan untuk selalu mendapatkan rahmat perlindungan dan keberhasilan dalam menegakkan jalan dharma atau cita-cita yang mulia untuk menyatu dengan Tuhan.
5. Makna kebersamaan atau solidaritas
Sama seperti hari raya Galungan, pada saat hari raya Kuningan juga dilaksanakan tradisi maturan keliling baik ke semua rumah miliknya atau melakukan aturan ke merajan-merajan/ sanggah-sanggah tua dan pura-pura dalam sistem kekerabatan (kinship system) ataupun ikatan desa pakraman, hal ini memiliki makna jalinan cinta kasih sosial atau solidaritas sosial dalam wujud rasa bhakti dan kebersamaan. Demikian pula dalam dalam Manis Kuningan ada tradisi untuk saling mengunjungi kerabat ataupun melakukan kegiatan bersama, hal ini dapat memperkuat ikatan tali persaudaraan.
6. Makna disiplin dalam waktu terbaik
Selain simbol tamiang yang juga bermakna sebagai perputaran roda dunia atau roda waktu yang sangat disiplin bekerja demi keberlangsungan dunia dalam hukum alam semesta (rta), pada saat Kuningan waktu melakukan persembahyangan atau persembahan juga menggunakan perhitungan waktu yang baik (satwika). Persembahan ataupun persembahyang pada hari suci ini yang paling baik dilakukan mulai dini hari hingga pukul 12 Siang. Walau tetap mengacu pada prinsip budaya setempat, tempat, waktu dan keadaan yang ada (desa, kala, patra), Jika berdasarkan sastra terkait brahmamuhurta (waktu yang disebutkan terbaik untuk memuja Tuhan yaitu mulai dini hari sekitar pukul 04.00 hingga 08.00 pagi. Hal ini mengandung makna simbolik kedisiplinan demi kesuksesan spiritual. Kesuksesan spiritual yang gemilang bisa dicapai dengan mantap dengan memulai pada waktu satwik, atau seawal mungkin. Kesuksesan spiritual dalam sadhana spiritual harus dimulai dari sedini mungkin.
Mengawali lebih awal (start early) menggunakan waktu sepagi mungkin untuk hal yang utama yaitu mendekatkan diri dengan Tuhan adalah rahasia kesuksesan. Demikian pula kedisiplinan waktu sesuai dengan petunjuk sastra ini, merupakan sebuah pesan yang luar biasa khususnya untuk generasi muda, untuk semakin giat bekerja dan mendalami kehidupan dalam spiritualitas yang mulia, berpandangan global dan memahami esensi kebijaksanaan atau kearifan lokal setempat.
Dalam hal ini memang semua waktu adalah baik untuk memuja Tuhan, namun memulai sadhana spiritual lebih awal memiliki makna akan kesungguhan dan kedisiplin serta optimalisasi energi dan waktu. Konsep dalam Kuningan terkait melakukan persembahyangan sebelum Sangyang Surya mesineb atau matahari mengarah ke barat memiliki makna simbolik yang dalam terkait energi alam semesta, energi surya atau matahari, satwika kala atau kekuatan kedisiplinan dan waktu (the power of discipline and times).
7. Makna wujud syukur dalam tradisi lokal yang bervariasi
Berbagai rangkaian hari raya Kuningan (dan tentunya Galungan) juga dirayakan dengan berbagai tradisi yang bersifat lokalitas yang akan berbeda di setiap wilayah kebudayaan atau subculture. Sebagai contoh lokalitas budaya pada masyarakat di desa Munggu dengan melaksanakan tradisi ngerebeg pada rahinan Kuningan; terdapat juga tradisi menawat yang barangkali masih marak di desa-desa sampai saat ini yaitu mebalih anak ngaliwat. Ada juga di sebuah desa melaksanakan tradisi mamenjor atau beberongan. Jika diteliti lebih detail maka akan terdapat banyak sekali variasi tradisi lokal dalam rangkaian hari raya Kuningan ini. Makna simbolik yang terekspresi adalah wujud rasa syukur ataupun rasa bhakti yang tinggi kehadapan Ida Sang Hyang Widi Waça/ Tuhan Yang Maha Kuasa.
Demikian tujuh makna simbolik yang tersirat dalam hari raya Kuningan. Jika ditelurusi atau diteliti lebih dalam, bisa saja akan muncul lagi berbagai makna-makna baru. Representasi makna baru muncul mengingat konteks dinamika budaya kontemporer atau era kekinian dalam pelaksanaan hari raya Kuningan. Diskusi atau sathsang diperlukan untuk dapat memaknai dengan tepat setiap hari raya suci. Untuk itu silakan share dan mohon saran untuk penyempurnaan tulisan ini. Tidak ada gading yang tidak retak, walaupun masih banyak kekurangan dalam tulisan ini, semoga tulisan ini dapat berguna sebagai inspirasi ataupun bahan renungan di hari raya ini, selamat hari raya Kuningan, semoga selalu dalam keadaan bahagia dan sejahtera dalam rahmat_Nya, terimakasih.
2 thoughts on “MAKNA SIMBOLIK HARI RAYA KUNINGAN”