“Children Learn What They Live” (Dorothy Law Nolte)
Merdeka Belajar
Selamat hari Pendidikan Nasional. Sebuah perayaan yang sangat bagus dilakukan adalah dengan introspeksi untuk diri sendiri, mendalami makna pendidikan dan konteksnya dalam kehidupan masyarakat. Membongkar realitas distorsif dalam dunia pendidikan secara kritis dan bertransformasi dalam level individu, keluarga ataupun level yang lebih luas lagi.
Walaupun hari pendidikan nasional yang sama dirayakan setiap tahun sekali, ada baiknya selalu dapat dimaknai ulang secara kritis tentunya dalam konteks kekinian. Idealisme pendidikan kini berada di balik tantangan berbagai persoalan karakter manusia. Hal ini tentunya sudah cukup sering dibahas terkait karakter yang sering berada pada isu sentral kenakalan remaja ataupun persoalan pendidikan dan pola asuh anak. Sering terdengar masalah pendidikan termasuk pola asuh orang tua yang akhirnya tidak terhindar dari kekerasan fisik dan kekerasan simbolik pada anak. Tentunya diperlukan penelitian yang mendalam terkait, apakah budaya kuasa dan kekerasan simbolik mempengaruhi karakter anak? Pastinya semuanya cenderung setuju bahwa pendidikan spiritual atau pendidikan karakter sangat penting peranannya dalam mengatasi masalah-masalah ini.
Hal yang urgensi adalah menumbuhkan pemikiran kritis dan emansipatoris akan pentingnya meruntuhkan budaya kuasa dan kekerasan simbolik dalam pendidikan. Pentingnya Transformasi pendidikan yang menumbuhkan kesadaran emansipatoris, mengembangkan bakat dan karakter untuk bisa menjadi tauladan. Konstruksi budaya untuk realitas pendidikan yang ideal dapat terwujud dengan pendidikan karakter yang baik. Merdeka dalam segala model pendidikan merupakan konsep merdeka belajar yang telah dikonseptualisasi dari para tokoh pendidikan Indonesia.
Jika dilihat dari kuantitas dan jenjang pendidikan pengajar atau guru dan dosen di Indonesia, tentunya kini sudah semakin maju, terbukti kini Guru minimal harus S1 dan Dosen minimal harus bergelar master dalam sebuah bidang keilmuan. Untuk seorang dosen wajib mengadakan riset dan pengabdian secara rutin selain mengajar. Sistem Teknologi informasi sebagai penunjang pembelajaran seperti e-learning dengan Learning Managemant System berbasis IT sudah sangat maju dan semakin mudah diakses. Sumber belajar keilmuan yang kaya dan mudah didapatkan di era digital ini. Walaupun demikian tentunya aspek heroik ataupun etika dan moralitas menjadi perhatian yang dominan untuk selalu dijamin kualitasnya. Dalam hal ini pendidikan karakter atau pendidikan spiritual yang paling memiliki peranan.
Pada jaman kolonial, ketika masa-masa perjuangan dan perlawanan kepada penjajah untuk sebuah kemerdekaan cukup banyak terlahirkan pahlawan yang dijadikan tauladan dalam kehidupan masyarakat. Terkait hari pendidikan nasional tidak asing lagi satu tokoh pendidikan yang sangat terkenal bahkan namanya telah go internasional yaitu Ki Hadjar Dewantara.
Jika kita lihat dalam sejarah, tanggal 2 Mei adalah hari ulang tahun Beliau. Beliau lahir pada tanggal 2 Mai 1889 dan wafat 26 April 1959. Mari sedikit mengenang sebagian kecil kisah kepahlawanan, tauladan dan inspirasi atau ajarannya terutama dalam dunia pendidikan. Lebih dalam lagi hubungannya dengan pendidikan karakter.
Masih teringat pelajaran sejarah terkait Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang menumbuhkan rasa keadilan yaitu memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya priyayi maupun orang-orang Belanda. Ki Hadjar Dewantara mendirikan perguruan ini sebagai sebuah ekspresi perjuangan untuk mencerdaskan seluruh bangsa secara adil dan merata pada masa kolonial.
Perlu diapresiasi terkait karakter kerendahhatian dan jiwa yang konsisten Bapak pendidikan Indonesia ini. Hal ini tampak sebuah perjuangannya dalam ranah pendidikan yang menonjolkan konsep kebersamaan, keadilan dan kesamarataan dalam struktur sosial. Satu contoh kecil terkait hal ini adalah Beliau cenderung tidak menggunakan gelar kebangsawanannya yaitu Raden Mas, bahkan akhirnya menghilangkan nama keningratannya tersebut. Nama asli Beliau adalah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, kemudian sejak tahun 1922 diubahnya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Justru kini nama Ki Hadjar Dewantara begitu harum dan sarat dengan inspirasi. Hal ini dapat diambil sebuah makna akan kerendahan hati dan Beliau melakukan ini untuk bisa benar-benar konsisten dalam konsep kebersamaan tanpa harus membeda-bedakan berdasarkan struktur ataupun stratifikasi sosial.
Refleksi pada zaman sekarang, jika ada kecenderungan beberapa kalangan menonjolkan bahkan menjadi sebuah ranah perjuangan pencitraan menonjolkan nama-nama kebangsawanan tentunya menjadi bertitik tolak atau berlawanan dengan karakter Bapak pendidikan Indonesia ini.
Apakah pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara? pernah ditulis oleh Boetasono, dkk pada tahun 2014 bahwa pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah “daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran dan tubuh anak. bagian-bagian tersebut tidak boleh dipisahkan agar dapat memajukan kesempurnaan anak”. Ki Hadjar Dewantara mengungkapkan bahwa pendidikan yang sesuai dengan kepribadian bangsa yaitu dengan sistem among. Hakim (2016:84) menjelaskan bahwa pendidikan among tersebut adalah sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Kekeluargaan mengandung arti bahwa guru dan dosen seharusnya mendidik dengan dasar kasih sayang kepada sesama manusia, saling menghormati dan menghargai perbedaan, tolong menolong, gotong royong, serta menjunjung persatuan. Pendidikan harusnya bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan, yang artinya seorang guru ataupun dosen harus memberikan kebebasan bagi peserta didik sesuai dengan kodratnya.
Idealisme pendidikan seperti spirit Ki Hadjar Dewantara begitu indah, walau hingga saat ini masih saja terlihat adanya budaya kuasa dan kekerasan simbolik dominan mewarnai pendidikan pada sebuah kelas, sekolah, kampus ataupun dalam pola asuh orang tua terhadap anak. Tri sentra dalam pendidikan yang diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantara yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat sudah semestinya selalu berada dalam spirit pendidikan spiritual atau pendidikan karakter. Sudah sepatutnya tiga ajaran Ki Hadjar Dewantara yang terkenal pernah dijabarkan Rahayu (2014:73) antara lain: (1) Tri sentra pendidikan yaitu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat; (2) Trilogi kepemimpinan ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani; (3) Tri sakti jiwa yaitu cipta, rasa dan karsa; (4) Tri Nga yaitu ngerti, ngrasa, nglakoni dan (4) Tri N yaitu niteni, nirokke nambahi. Semua konsep ini sarat dengan makna pendidikan karakter. Konsep Tri sentral pendidikan jika pada zaman digital tentunya model ini bisa berkembang dengan intevensi cyber media lengkap dengan perkembangan teknologinya yang semakin canggih dan mendominasi utamanya dalam dunia pendidikan.
Sebagai perbandingan menarik untuk
dibaca terkait ini adalah analisis Pierre Bourdieu seorang antropolog, cultural studies, sosiolog kultural dan etnolog yang mengkaji dinamika pendidikan di Prancis dan memperkenalkan konsep cultural reproduction pada awal 1970. Analisis Bourdieu ini melihat praktik pendidikan dalam masyarakat modern. Hidayat (2011) mengungkapkan dalam buku Pengantar Sosiologi Kurikulum mengungkapkan bahwa Bourdieu percaya bahwa sistem pendidikan selalu digunakan untuk mereproduksi budaya kelas dominan dalam rangka kelas dominan itu terus mengendalikan kekuasaannya. Bourdieu mengungkapkan terkait ketimpangan reproduksi struktural yang disebabkan oleh reproduksi budaya. Ketimpangan akan selalu muncul berdasarkan sistem pendidikan dan institusi sosial lainnya (baca reproduction theory). Martono (2012:45) mengungkapkan terkait sekolah sebagai arena terjadinya kekerasan simbolik, “Proses ini terjadi ketika siswa dari kelas bawah secara tidak sadar dipaksa untuk menerima semua habitus sekaligus kelas dominan melalui misalnya, berbagai peraturan sekolah yang hanya mengakomodasi habitus kelas dominan, memberi materi, baik melalui kurikulum formal maupun kurikulum tersembunyi yang -sekali lagi- tidak pernah disadari siswa kelas terdominasi”.
Hasil penelitian Pierre Bourdieu terkait kekerasan simbolik ini bisa dijadikan refleksi atau perenungan untuk semua kalangan yang terkait dengan pendidikan termasuk pola asuh orang tua kepada anak, kehidupan organisasi sosial dan perenting. Akankah inspirasi Ki Hadjar Dewantara terkait perjuangan persamaan tanpa ketimpangan dalam dunia pendidikan bisa terwujud hingga saat ini? Tentunya semuanya bisa menjawabnya dengan melihat realitas pendidikan dan realitas karaktar anak-anak saat ini.
Mengingat hal tersebut Pendidikan karakter atau pendidikan spiritual ataupun pendidikan nilai-nilai kemanusiaan menjadi begitu penting untuk semakin digalakkan. Kegiatan perenting yang berbasis pendidikan karakter dapat menjadi solusi untuk terwujudnya model pendidikan yang ideal seperti pernah diperjuangkan oleh Bapak pendidikan Indonesia. Terkait pendidikan karakter bisa dibaca lebih lanjut pada pendidikan spiritual.
Terkait meruntuhkan budaya kuasa dan kekerasan simbolik pada anak dengan pendidikan karakter atau pendidikan spiritual, terdapat sebuah puisi yang sangat terkenal dan fenomenal yang ditulis oleh Dorothy Law Nolte yang berjudul “Children Learn What They Live“. Puisi klasik ini pertama kali ditulis tahun 1954 pada koran Torrance Herald di Sounthern California. Dalam tulisan ini akan dicoba untuk menyajikan setiap bait puisi aslinya dan terjemahan bahasa Indonesianya.
- Jika anak dibesarkan dengan celaan, mereka belajar memaki (If children live with criticism, they learn to condemn).
- Jika anak dibesarkan dengan permusuhan/kekerasan, mereka belajar berkelahi (If children live with hostility, they learn to fight).
- Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, mereka belajar rendah diri (If children live with fear, they learn to be apprehensive).
- Jika anak dibesarkan dengan hinaan, mereka belajar menyesali diri (If children live with pity, they learn to feel sorry for themselves).
- Jika anak hidup dengan ejekan, mereka belajar untuk merasa malu (If children live with ridicule, they learn to feel shy).
- Jika ada hidup dengan kecemburuan, mereka belajar untuk merasa iri (If children live with jealousy, they learn to feel envy).
- Jika anak hidup dengan rasa malu, mereka belajar untuk merasa bersalah (If children live with shame, they learn to feel guilty).
- Jika anak dibesarkan dengan dorongan, mereka belajar percaya diri (If children live with encouragement, they learn confidence).
- Jika anak dibesarkan dengan toleransi, mereka belajar menahan diri (If children live with tolerance, they learn patience).
- Jika anak hidup dengan pujian, mereka belajar apresiasi (If children live with praise, they learn appreciation).
- Jika anak hidup dengan penerimaan, mereka belajar untuk mencintai (If children live with acceptance, they learn to love).
- Jika anak dibesarkan dengan dukungan, mereka belajar menyenangi dirinya (If children live with approval, they learn to like themselves).
- Jika anak hidup dengan pengakuan, mereka belajar bahwa baik untuk memiliki tujuan (If children live with recognition, they learn it is good to have a goal).
- Jika anak hidup dengan berbagi, mereka belajar kemurahan hati
(If children live with sharing, they learn generosity). - Jika anak hidup dengan kejujuran, mereka belajar kebenaran sejati
(If children live with honesty, they learn truthfulness). - Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, mereka belajar keadilan (If children live with fairness, they learn justice).
- Jika anak dibesarkan dengan pujian, mereka belajar menghargai (If children live with kindness and consideration, they learn respect).
- Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, mereka belajar menaruh kepercayaan (If children live with security, they learn to have faith in themselves and in those about them).
- Jika anak-anak hidup dengan persahabatan mereka belajar bahwa dunia adalah tempat yang indah untuk hidup (If children live with friendliness, they learn the world is a nice place in which to live).
Sembilan belas bait puisi karya Dorothy sarat dengan pendidikan karakter. Program perenting yang kreatif menerjemahkan sembilan bait puisi ini dalam praktik untuk dan oleh masyarakat utamanya orangtua, keluarga, guru, dosen dan pengasuh anak, seluruh agen / aktor dalam komponen sistem pendidikan maka sudah dipastikan anak-anak akan berkembang memiliki karakter yang baik dan tentunya terhindar dari budaya kuasa dan kekerasan simbolik.
Selamat hari pendidikan nasional semoga semua pendidik, baik mendidik anak, adik, keluarga, masyarakat dan seterusnya dapat mengisi pendidikan dengan baik dan sedapat mungkin menyadari jurang-jurang budaya kuasa dan kekerasan simbolik. Terimakasih telah membaca, tentunya yang terpenting bukan tulisan ini tapi bagaimana inspirasinya bisa dipraktikkan untuk kehidupan yang semakin baik, Terimakasih.
Referensi:
Hakim, Andi (2016), “Meruntuhkan Budaya Kuasa dan Kekerasan pada Anak: Belajar dari Ki Hadjar Dewantara”. Jurnal Buana Gender-Vol 1 Nomor 1 Januari -Juni 2016.
Hidayat, Rakhmat, 2011. Pengantar Sosiologi Kurikulum. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Martono, Nanang. 2012. Kekerasan Simbolik di Sekolah Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Rahayu, Ayu (2015). “Penerapan Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam Pembelajaran untuk membenttuk Peserta Didik Berkarakter Cerdas dan Berintegritas” Jurnal Edukasi Volume X September 2013.
2 thoughts on “MERUNTUHKAN BUDAYA KUASA DAN KEKERASAN SIMBOLIK MELALUI PENDIDIKAN KARAKTER”