MAKNA SPIRITUAL HARI RAYA GALUNGAN DALAM PERGULATAN WACANA

Satyam Eva Jayate” kebenaran akan tetap tegak, meskipun terus dipertanyakan dalam pusaran wacana kontemporer. Hari Raya Galungan kini melampaui makna ritual semata, menjadi arena kontestasi makna spiritual dan pencarian identitas kultural. Ia merefleksikan perjuangan simbolik antara dharma dan adharma, yang tak lagi hanya berlangsung di ranah mitologis. Kontestasi ini menjelma dalam keseharian kita. Di tengah derasnya arus modernitas dan medialisasi, spiritualitas menjadi medan tafsir yang cair. Refleksi ini mencoba menempatkan Galungan sebagai ruang baca kritis atas narasi kebenaran di tengah dunia digital yang penuh distraksi.

Hari Raya Galungan menciptakan ruang perayaan penuh makna, melampaui sekadar ritual. Kemenangan dharma atas adharma menjadi narasi hidup yang terus berkembang. Setiap simbol dan persembahan menjadi medium untuk menegosiasikan makna spiritual, menghubungkan tradisi dengan perubahan zaman. Perayaan ini terus membuka peluang untuk penafsiran baru, mengikuti gelombang dinamis kehidupan.

Globalisasi dan digitalisasi membuat makna dharma dan adharma lebih fleksibel. Dalam ruang siber, narasi spiritual tidak hanya diteruskan, tetapi juga diperdebatkan. Galungan berfungsi sebagai ruang diskursif, tempat tradisi lokal bertemu dengan tantangan zaman. Perayaan ini tidak hanya mempertahankan, tetapi juga mentransformasi nilai-nilai budaya dalam dialog dengan zaman yang bergerak cepat.

Semangat “Satyam Eva Jayate” bahwa kebenaran pada akhirnya akan menang. Galungan dan Kuningan menjadi momentum reflektif: kebenaran siapa yang sedang diperjuangkan? Bagaimana kekuasaan membentuk persepsi kita tentang dharma dan adharma? Dan bagaimana masyarakat Hindu Nusantara menegosiasikan spiritualitasnya dalam pusaran perubahan sosial?

Galungan dan Kuningan bukan sekadar ritual, tetapi medan kontestasi makna dalam lanskap budaya yang terus berubah. Kebenaran bukan entitas yang tunggal dan final, melainkan konstruksi yang selalu dinegosiasikan dalam jaringan kekuasaan, media, dan praktik sosial.

“Dharmo Rakshati Rakshitah”
(Orang-orang yang menjalankan kebajikan akan dilindungi oleh kebajikan itu sendiri).

Perayaan Hari Suci Galungan memiliki makna mendalam dan menarik. Dirayakan oleh umat Bali dan umat Hindu Nusantara, Galungan melibatkan tradisi ritual khas. Setiap enam bulan, atau 210 hari, perayaan ini dilaksanakan berdasarkan kalender Bali-Jawa. Hari suci ini jatuh pada hari Budha Kliwon Dungulan, menghubungkan tradisi dengan waktu yang sakral.

Apakah makna spiritual hari raya suci yang biasanya ditunggu-tunggu oleh umat Hindu ini?

Makna spiritual tak pernah tunggal, ia terbentuk oleh sejarah dan konteks sosial. Prinsip desa kala patra mengingatkan kita bahwa makna selalu berubah, sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaan tertentu. Setiap perayaan membuka ruang untuk makna dinamis yang subjektif dan terhubung dengan kehidupan bersama. Makna spiritual penting agar ritual tidak hanya menjadi rutinitas mekanik. Ritual penuh makna menghubungkan kita dengan alam dan Sang Pencipta.

Rangkaian acara Galungan, mulai dari Tumpek Pengatag (Tumpek Pengarah, Tumpek Pengunduh, atau Tumpek Uduh). Dilanjutkan dengan Sugian Jawa dan Sugian Bali, Penyajaan, Penampahan, Galungan, Manis Galungan, hingga Kuningan, sarat dengan makna simbolik. Setiap tahapan saling terhubung secara historis dan budaya dalam tradisi yang hidup. Tulisan ini akan fokus pada makna spiritual Penampahan Galungan, Galungan, dan Manis Galungan dalam konteks kehidupan kontemporer.

1. Makna Spiritual Penampahan Galungan

Penampahan Galungan bukan sekadar ritual pengorbanan, tetapi simbol perlawanan terhadap adharma dalam diri. Dalam Veda, pengorbanan melampaui fisik, melibatkan pengorbanan ego dan sad ripu. Perjuangan ini bukan hanya di luar, tetapi di dalam diri manusia. Apa yang kita korbankan? Ego, sifat buruk, dan musuh dalam diri. Sad ripu dalam Hindu merujuk pada enam musuh batin: nafsu, kemarahan, keserakahan, kebingungan, kesombongan, dan kedengkian. Mengalahkan sad ripu adalah usaha mencapai dharma, dan keselarasan batin.

Penampahan dirayakan sehari sebelum Galungan, pada Selasa Wage Wuku Dungulan. Secara etimologis, Penampahan berasal dari kata tampah, yang berarti ‘membunuh’. Namun, ini bukan pembunuhan fisik, melainkan pengorbanan sifat kebinatangan dalam diri manusia. Penampahan adalah proses transformasi internal. Dari sifat kebinatangan menuju sifat kedewataan, ketika dharma mengalahkan adharma.

Hari Penampahan mengajarkan kita untuk menggali potensi dharma dalam diri. karakter seperti welas asih, kedamaian, dan empati menjadi inti dari perjuangan ini. Makna Penampahan adalah sebuah proses pencapaian spiritual melalui pengorbanan diri, dalam perlawanan terhadap kekuatan adharma yang ada dalam diri manusia.

2. Makna Spiritual Hari Suci Galungan 

Makna spiritual Galungan termuat dalam teks sastra kuno, Lontar Sundarigama. Dalam lontar itu tertulis: “Budha Kliwon Dunggulan ngaran Galungan patitis ikang jnana samadhi . . .” Terjemahan bebasnya, Galungan adalah hari mempraktikkan samadhi untuk mencapai pandangan terang.
Pandangan terang itu membimbing manusia melawan kekacauan dan keserakahan pikiran.

Jika dilihat dari kerangka sastravadin, Galungan adalah kontestasi dharma melawan adharma. Pertarungan ini berlangsung di medan batin, bukan semata di dunia luar. Dharma dan adharma saling bergulat dalam kesadaran, setiap hari, setiap saat. Galungan hadir sebagai momen kolektif mengafirmasi kemenangan sifat kebajikan.

Sebelum Galungan, ada Penampahan Galungan, penuh makna spiritual pengorbanan diri. Penampahan menandai membunuh sifat kebinatangan yang mengakar dalam diri manusia. Pengorbanan ini bukan ritual lahiriah, tetapi penegasan ikhlas tanpa syarat pribadi. Dari pengorbanan itulah tumbuh karakter tulus yang membuka jalan transendensi.

Hari raya Galungan adalah puncak dari transformasi spiritual batin manusia. Ia adalah perayaan dominasi sifat kedewataan atas sifat duniawi yang mengaburkan kesadaran. Galungan menandai negosiasi identitas spiritual kontemporer. Melalui Galungan, tradisi, spiritualitas, dan kritik batin berjumpa dalam satu ruang pengalaman.

Galungan bukanlah rutinitas ritual yang mekanik tanpa pemahaman spiritual. Setiap ritual Galungan mesti lahir dari kesadaran mendalam tentang makna transendentalnya. Galungan menggerakkan transformasi dari aktivitas ritual menuju pengalaman spiritual yang autentik. Ritual menjadi sarana memperoleh kekuatan spiritual wiweka dalam batin manusia.

Wiweka adalah kemampuan membedakan dorongan adharma dan kesadaran murni dharma. Dengan wiweka, manusia memahami arah gerak pikirannya: kebajikan atau ketidakbenaran.Spiritualitas Galungan melatih intuisi batin untuk membedakan dorongan-dorongan batiniah.
Dari ritual ke spiritual, Galungan memperkuat ketajaman suara batin, inner voice. Kegiatan Galungan mempertajam kepekaan mendengar suara Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Waça. Galungan adalah momen suci mendengarkan bisikan transendental dalam kesunyian batin. Ritual bukan lagi formalitas, melainkan percakapan intim dengan Tuhan dalam keheningan.

Dengan demikian, Galungan membangun kemampuan membedakan asura sampad dan dewa sampad. Asura sampad adalah kecenderungan keraksasaan yang mendorong manusia menjauh dari dharma. Sebaliknya, dewa sampad adalah kecenderungan kedewataan yang menuntun ke arah kebenaran. Galungan adalah jalan kontestasi batin, memilih keberpihakan pada suara suci kedewataan.

Lontar Vrhaspatitatwa menjelaskan sistematis bagaimana melaksanakan dharma dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat tujuh nilai dharma yang menjadi fondasi spiritualitas manusia. Pertama, sila: senantiasa berbuat baik dan benar dalam setiap pikiran, kata, dan tindakan. Kedua, yajña: berkorban ikhlas, mengembangkan kasih sayang dan ketulusan tanpa pamrih. Ketiga, tapa: pengendalian diri terhadap hawa nafsu dan dorongan-dorongan duniawi. Keempat, dana: memberikan bantuan kepada yang membutuhkan, berlandaskan cinta kasih. Konsep ini dikenal juga sebagai seva: pelayanan sosial melihat Tuhan dalam orang miskin (Daridra Narayana). Kelima, prawrija: mengembara menambah ilmu pengetahuan dan memperdalam spiritualitas batin. Keenam, diksa: penyucian diri sebagai laku transformasi menuju kesadaran yang lebih tinggi. Ketujuh, yoga: menghubungkan diri terus-menerus dengan Tuhan Yang Maha Esa. Praktik ketujuh nilai dharma ini menuntut kesadaran spiritual setiap saat. Ia melampaui formalitas ritual dan menjadi disiplin batin yang berkelanjutan.

Rangkaian ritual pada Galungan bukan sekadar penghormatan roh leluhur dan Bhatara. Ia adalah ekspresi rasa syukur dan bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Waça. Hakikat terdalam dari semua ritual Galungan adalah menegakkan praktik hidup dharma. Melalui praktik ini, kemenangan sejati diraih, sesuai prinsip Dharmo Rakshati Rakshitah. Artinya, dharma sendiri yang akan melindungi mereka yang setia menjalaninya. Demikian pula wacana sathyam eva jayate: kebenaran akan selalu menemukan jalannya menang. Galungan menjadi medan spiritual merayakan kemenangan kebenaran dalam ruang batin manusia.

3. Makna Spiritual Hari Suci Manis Galungan

Sehari setelah Galungan, yaitu Kamis Umanis Wuku Dungulan, disebut Manis Galungan. Manis Galungan bukan sekadar momen menikmati kemenangan spiritual sebagai sesuatu yang tetap. Ia adalah proses terus-menerus merefleksikan bagaimana makna dharma dinegosiasikan sepanjang waktu. Makna kemenangan dalam Manis Galungan bukan sesuatu yang stabil dan mutlak. Ia selalu dibentuk kembali oleh situasi sosial, budaya, dan teknologi yang terus berubah. Hari ini, kemenangan tidak lagi hanya soal pertarungan batin individu melawan nafsu. Tetapi juga soal bagaimana individu berjuang di tengah arus informasi yang membanjiri kesadaran.

Dunia modern, globalisasi dan digitalisasi menciptakan tantangan baru dalam mempertahankan dharma. Internet, media sosial, dan budaya siber membentuk realitas baru yang cair dan kompleks. Kebenaran tidak lagi satu; ia diproduksi, disebarkan, dan diperdebatkan dalam banyak ruang maya.

Manis Galungan hari ini bukan hanya refleksi atas kemenangan melawan diri sendiri. Tetapi juga refleksi tentang bagaimana nilai-nilai spiritual bergulat dalam ruang-ruang digital. Tradisi Galungan tidak berada di luar perubahan zaman; ia justru hidup di dalamnya. Makna suci tidak otomatis lestari, ia harus terus dirundingkan dalam dinamika sosial budaya.

Berbagai ritual dan simbol Galungan kini mengalami perubahan makna dalam ruang publik digital. Sebagian mengalami komodifikasi: menjadi estetika visual, hiburan, atau konten media sosial. Namun sebagian lain justru menjadi arena baru membangun komunitas spiritual yang adaptif.

Menjalankan dharma dalam zaman ini berarti membaca zaman dengan kritis dan reflektif. Bukan mempertahankan bentuk luar tradisi semata, melainkan memperjuangkan semangat etikanya. Tradisi bukan museum; ia adalah medan kontestasi nilai, identitas, dan makna hidup.

Dalam dunia yang terus berubah, sanathana dharma bukanlah “kembali ke asal yang murni”. Ia adalah perjuangan tanpa henti menjaga keberpihakan kepada kebenaran dalam ruang yang cair. Galungan dan Manis Galungan hari ini adalah ajakan terus memperbarui kesadaran kita. Membangun kemenangan batin, tidak dalam isolasi, tetapi di tengah dunia yang hiperaktif. Seperti pesan kuno: Dharmo Rakshati Rakshitah, sathyam eva jayate. Bukan sekadar slogan, tapi etos hidup yang harus selalu dirundingkan ulang.

Penjor in Galungan holyday in Bali

Hari suci Galungan, yang dirayakan tiap 210 hari ini, membuka ruang bagi refleksi baru. Ia bukan hanya tradisi yang berulang, tetapi medan untuk memperbarui praktik spiritual. Makna atau tatwa dari setiap praktik ritual menjadi semakin penting dalam konteks ini. Kritik Clifford Geertz menjadi pengingat tajam bagi praktik budaya Bali hari ini. Geertz mencatat, “orang Bali sangat sibuk dengan ritual namun sering lupa aspek pemaknaannya.” Kritik ini bukan penghinaan, tetapi cambuk kecil untuk merefleksikan arah spiritualitas. Ritual tanpa pemaknaan kritis berisiko menjadi beban sosial yang kehilangan kekuatan rohaninya. Sebaliknya, ritual yang disadari maknanya dapat menjadi kekuatan transformatif dalam hidup. Dalam medan wacana yang terus berubah, praktik spiritual pun lebih produktif untuk terus diperbaharui.

Penegakan dharma menjadi inti dari seluruh rangkaian perayaan Galungan yang dinamis ini. Dharma bukan warisan beku, melainkan jalan hidup yang selalu dipertarungkan maknanya. Galungan adalah ajakan untuk membumikan kebenaran, bukan hanya di pura, tapi dalam dunia nyata. Dengan menyadari ini, ritual bukan lagi sekadar kewajiban, tetapi jalan kesadaran penuh makna. Di tengah pergulatan zaman, kemenangan sejati adalah terus menegakkan dharma dalam realitas baru.

1 thought on “MAKNA SPIRITUAL HARI RAYA GALUNGAN DALAM PERGULATAN WACANA”

Leave a Comment