EDUCARE: MERAWAT KEMANUSIAAN DARI DALAM MENYILANG JEJAK KUASA DI LUAR

Pendidikan tidak berlangsung dalam ruang netral. Ia selalu beroperasi dalam lanskap sosial yang dipenuhi jaringan kuasa, bahasa, dan representasi. Dalam konfigurasi ini, educare bukan sekadar proses pedagogis normatif, melainkan bentuk praksis politis yang mengakar pada pengalaman batin sekaligus mengintervensi struktur eksternal. Merawat kemanusiaan dari dalam bukan tindakan esoteris, melainkan kerja kultural yang bersifat reflektif dan subversif terhadap dominasi nilai dari luar. Melalui kesadaran sebagai medan artikulasi, subjek tidak hanya belajar untuk menjadi, tetapi juga untuk menggugat cara menjadi yang telah dibakukan. Dalam kerangka ini, gagasan Paulo Freire tentang conscientização dan Michel Foucault tentang technologies of the self menjadi penting untuk memahami bahwa pendidikan spiritual adalah proyek pembentukan diri sekaligus ruang interupsi terhadap normalisasi. Ia menyeberang batas antara personal dan politikal, dari dalam tubuh yang merasakan hingga ke medan sosial yang mengatur. Educare, dengan demikian, adalah upaya menyilang jejak kuasa dari luar melalui aktivasi kesadaran kritis dari dalam.

Educare sebagai Proyek Merawat Kemanusiaan dari Dalam

Pendidikan tidak dapat direduksi menjadi instrumen teknokratis karena ia mengandung potensi untuk membongkar dan merakit ulang subjektivitas. Ia adalah praksis simbolik yang menyeberangi batas antara batin dan struktur sosial. Dalam konteks ini, Educare: adalah upaya sadar untuk menggali dan menumbuhkan nilai kemanusiaan yang bersumber dari dalam. Pernyataan ini sejalan dengan gagasan Paulo Freire tentang pendidikan sebagai proses conscientização atau kesadaran kritis. Kecerdasan Ilahi tidak dimaknai sebagai entitas transenden yang absolut, melainkan sebagai diskursus yang dinegosiasikan melalui pengalaman tubuh dan sejarah. Dengan demikian, pendidikan menjadi medan ketika nilai-nilai kemanusiaan diproduksi sebagai efek dari pertarungan antara kuasa simbolik dan kehendak untuk menjadi subjek.

Kesadaran Emansipatoris dan Etika Produksi Diri

Spirit educare melampaui proses pembentukan moral personal karena ia menubuh dalam relasi sosial yang bersifat hegemonik. Kesadaran manusia adalah titik awal segala bentuk perubahan. Ungkapan ini memperlihatkan bahwa kesadaran bukan hasil internalisasi nilai, melainkan efek dari perjumpaan antara tubuh, kuasa, dan bahasa. Mengaktifkan nilai bukan soal mengingat kebenaran yang terlupakan, melainkan tindakan untuk meretas bentuk-bentuk normatif yang membekukan potensi menjadi. Dalam pengertian ini, konsep Michel Foucault tentang technologies of the self menjadi relevan, yaitu bagaimana subjek secara aktif membentuk diri melalui refleksi dan resistensi terhadap tatanan yang membatasi.

Nilai Lokal sebagai Artikulasi Kuasa dan Tafsir Kontekstual

Nilai-nilai seperti Menyama Braya, Tri Hita Karana, serta prinsip saling asah, asih, dan asuh merupakan efek dari medan diskursif yang bersifat historis dan politis. Nilai-nilai ini sebagai warisan tetap, melainkan mengajukannya sebagai sumber daya kultural yang perlu dibaca secara kontekstual. Nilai tidak hadir sebagai entitas netral, tetapi sebagai produk dari relasi kuasa, sebagaimana ditekankan oleh Stuart Hall bahwa budaya adalah medan artikulasi, bukan refleksi. Tafsir ulang terhadap nilai lokal menjadi praktik politis yang memungkinkan reapropriasi makna dalam konteks kontemporer. Dalam hal ini, nilai bukanlah monumen tetapi medan perjuangan simbolik. contoh nilai-nilai tersebut dalam budaya Bali: Menyama Braya yang lekat dengan konsep budaya lokal Tri Hita Karana tentang hubungan harmonis yang harus dijaga baik antara sesama manusia, alam dan Tuhan. Kemudian konsep segilik seguluk selulung sebayantaka, paras paros sarpanaya, saling asah, asih, asuh merupakan contoh nilai-nilai lokal dalam budaya Bali sebagai modal budaya yang diharapkan diterjemahkan secara terus menerus dalam wujud tindakan nyata.

Subjektivitas sebagai Ruang Representasi yang Dinegosiasikan

Kepribadian bukan ekspresi batiniah yang murni, melainkan hasil dari proses representasi dan performa sosial. Educare tidak menempatkan figur teladan sebagai model final, tetapi sebagai titik berangkat bagi negosiasi identitas. Konsep taksu, dalam dalam budaya Bali tidak dihadirkan sebagai aura spiritual yang tetap, tetapi sebagai modal simbolik yang dinegosiasikan melalui performa keseharian. Hal ini sesuai dengan pandangan Judith Butler tentang performativity, yakni bahwa identitas dibentuk melalui pengulangan tindakan yang dikodifikasi oleh norma sosial. Pendidikan spiritual menjadi medan etis yang membuka peluang bagi subjek untuk menegosiasikan kembali dirinya dalam ranah representasi.

Transformasi Sosial Budaya sebagai Praksis Wacana

Kebudayaan tidak dapat dibayangkan sebagai wadah pasif tempat nilai dilestarikan, melainkan sebagai arena pertarungan diskursif yang sarat kepentingan. Educare mengafirmasi posisi budaya sebagai medan produksi makna yang selalu terbuka bagi dekonstruksi. Transformasi sosial tidak mungkin terjadi jika pendidikan spiritual hanya berfungsi sebagai pelestarian moralitas tradisional. Sebaliknya, ia harus berperan sebagai praksis kritis yang membongkar narasi dominan dan menumbuhkan horizon emansipatoris. Gagasan ini sejalan dengan perspektif Gayatri Spivak yang melihat pendidikan sebagai cara untuk mengartikulasikan suara yang terbungkam dalam tatanan hegemonik.

Emansipasi dari Dalam sebagai Taktik Mengganggu Kuasa

Educare bukan sekadar strategi internalisasi nilai-nilai, melainkan praktik subversif yang mengganggu sistem dominasi melalui aktivasi potensi internal. Nilai-nilai kemanusiaan bukanlah sesuatu yang datang dari luar, melainkan yang tumbuh dari dalam diri manusia. Penegasan ini menolak posisi subjek sebagai entitas pasif. Pendidikan spiritual tidak menyuapi nilai, melainkan membangkitkan subjek untuk menolak normalisasi. Dengan demikian, educare menjadi bentuk micropolitics of resistance sebagaimana dibahas oleh Deleuze dan Guattari, yakni taktik kecil yang meretakkan sistem besar melalui kerja batin yang reflektif dan politis.

Lingkungan sebagai Medan Relasional yang Sarat Kuasa

Lingkungan tidak bersifat netral atau harmonis secara esensial. Ia merupakan jaringan relasional tempat kuasa bekerja melalui konfigurasi simbolik dan material. Konsep “mengasihi alam,” namun tidak dalam kerangka moralistik, melainkan sebagai pembacaan ulang atas relasi ekologis yang telah direduksi oleh logika kapitalistik. Dalam konteks ini, Bruno Latour dan teori actor-network menjadi relevan, sebab lingkungan bukan objek pasif tetapi aktor dalam jaringan agensi. Educare menolak pandangan lingkungan sebagai latar, dan menggantikannya dengan relasi etis yang melibatkan tanggung jawab politik terhadap keberlanjutan dan keadilan ekologis.

Educare sebagai Praksis Subjektivitas dan Kritik Kuasa

Educare bukan ruang netral untuk menyebar nilai-nilai moral, tetapi arena konstruksi subjektivitas yang terlibat dalam politik representasi dan resistensi simbolik. Pendidikan spiritual, dalam konteks ini, diposisikan sebagai bentuk kesadaran praktis sebagaimana dirumuskan oleh Bourdieu. Ia bukan hanya bertujuan menciptakan manusia yang berpikir, tetapi subjek yang mampu melakukan interupsi terhadap cara berpikir yang mapan. Educare adalah praksis dari dalam yang berakar pada batin, namun juga menyeberang keluar untuk mengganggu struktur sosial yang menindas. Ia adalah proyek etik dan politis yang terus bergerak dalam ketegangan antara penundukan dan pembebasan.

Seen some participants of the Educare Program doing yoga suryanamaskar

Educare tidak berhenti sebagai wacana reflektif tentang kemanusiaan; ia menjelma menjadi medan artikulatif yang menggugat konfigurasi kuasa melalui resonansi batin yang sadar. Ketika nilai seperti kasih, welas asih, dan penghormatan terhadap lingkungan dibangkitkan dari dalam diri, nilai-nilai ini tidak sekadar menjadi ekspresi moral, melainkan perangkat kritik terhadap tatanan sosial yang telah membakukan cara menjadi manusia. Dalam ketegangan antara spiritualitas dan struktur, antara tubuh yang mengalami dan sistem yang mendisiplinkan, educare menawarkan jalur alternatif: jalur yang tidak memilih antara pengasingan batin dan dogma eksternal, tetapi mengupayakan negosiasi makna secara terus-menerus. Di sinilah keunikannya, ia bukan ajaran yang diturunkan, melainkan praksis yang ditumbuhkan. Maka yang mendesak bukan lagi apa nilai yang diajarkan, melainkan bagaimana nilai digerakkan dari tubuh menuju dunia. Di tengah gemuruh algoritma dan disorientasi nilai di era digital, mungkinkah educare menjadi taktik gerilya batin paling radikal dalam membongkar sisa-sisa kolonialisme moral dan kapitalisme spiritual?

Berikut adalah Program Educare yang diselenggarakan di Alam Kebun Raya Bedugul tanggal 6 Juli 2013

2 thoughts on “EDUCARE: MERAWAT KEMANUSIAAN DARI DALAM MENYILANG JEJAK KUASA DI LUAR”

Leave a Comment