“Children Learn What They Live” (Dorothy Law Nolte)

Selamat Hari Pendidikan Nasional! Momentum ini seharusnya tidak hanya menjadi perayaan seremonial, tetapi juga ruang refleksi kritis untuk membongkar realitas-realitas pendidikan yang cenderung distorsif. Pendidikan tidak dapat dilepaskan dari relasi kuasa yang membentuk dan membatasi cara kita memahami serta mengakses pengetahuan. Pendidikan bukan sekadar transmisi ilmu, tetapi arena kontestasi ideologi, praktik dominasi, serta ruang produksi dan reproduksi nilai-nilai sosial.

Setiap tahun cenderung Hari Pendidikan Nasional diperingati dengan semangat yang sering bersifat seremonial.Maknanya jarang direnungkan secara mendalam dalam realitas sosial-politik yang terus berubah. Pendidikan menghadapi tantangan berat: soal karakter, kenakalan remaja, hingga pola asuh yang goyah.
Namun, wacana yang muncul kerap melupakan akar persoalan yang bersifat struktural. Di balik dinding sekolah, budaya kuasa dan kekerasan simbolik bekerja secara halus namun nyata.
Pierre Bourdieu menyebut pendidikan sebagai alat reproduksi budaya kelas yang berkuasa. Sekolah menjadi ruang di mana ketimpangan diwariskan tanpa harus tampak memaksa. Dalam lanskap Indonesia, budaya kuasa itu turut membentuk cara berpikir generasi muda. Pertanyaannya: bagaimana budaya kuasa ini membentuk karakter anak-anak dan sejauh mana pendidikan dapat menjadi alat emansipasi?
Urgensi pendidikan hari ini tak lagi sekadar soal menanamkan nilai-nilai karakter. Yang lebih penting adalah menyentuh akar: membongkar sistem yang diam-diam melanggengkan dominasi. Di balik ruang kelas, kekuasaan bekerja halus melalui aturan, kurikulum, dan cara berpikir yang mapan. Pendidikan semestinya tak hanya mendisiplinkan, tapi membangkitkan kesadaran dan keberanian berpikir. Setiap anak berhak tumbuh sebagai subjek yang bebas, bukan objek yang dibentuk tanpa suara. Perubahan itu membutuhkan pendekatan yang lebih menyentuh sisi manusia, bukan sekadar logika. Kesadaran kritis perlu ditanam, agar ilmu tak hanya hafalan, tapi juga keberpihakan. “Merdeka Belajar”, jika dipahami lebih dalam, menyimpan semangat pembebasan yang penuh harapan. Dalam kacamata Foucault, ia bisa dibaca sebagai upaya menantang kuasa yang membentuk kebenaran. Bukan sekadar bebas dari guru, tapi bebas menjadi diri yang berpikir, bertanya, dan peduli.
Secara kuantitatif, jenjang pendidikan pengajar di Indonesia terus meningkat, didukung oleh teknologi informasi yang mempercepat akses terhadap ilmu pengetahuan. Namun, peningkatan ini tidak serta-merta menjamin perbaikan dalam etika dan moralitas akademik. Pendidikan yang berbasis pada Learning Management System dan e-learning sering kali masih direduksi menjadi transfer pengetahuan yang minim refleksi kritis. Oleh karena itu, pendidikan karakter atau spiritualitas menjadi aspek yang harus diperjuangkan, bukan dalam makna konservatifnya yang normatif, tetapi sebagai alat untuk menantang hegemoni dan mengembangkan kesadaran sosial yang lebih adil
Dalam jejak panjang perjuangan pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara hadir sebagai penanda perubahan. Lewat Perguruan Taman Siswa, ia membuka ruang belajar yang berpihak pada keadilan dan kesetaraan. Bukan sekadar sekolah, Taman Siswa menjadi simbol perlawanan terhadap sistem pengetahuan yang menindas. Pendidikan tak lagi milik kaum elite, tapi hak semua anak bangsa untuk tumbuh dan berpikir merdeka. Kolonialisme saat itu bekerja melalui pengetahuan yang membatasi siapa yang boleh tahu dan siapa tidak. Ki Hadjar menantangnya dengan gagasan bahwa pendidikan harus memanusiakan dan membebaskan. Kini, warisan pemikiran itu perlu dibaca ulang dalam terang persoalan pendidikan hari ini. Apakah sekolah saat ini masih jadi ruang yang memperlebar kesenjangan dan membatasi mimpi? Apakah sistem yang ada sungguh mencerminkan prinsip kesetaraan atau justru menyingkirkan yang lemah? Pertanyaan-pertanyaan ini penting agar semangat Taman Siswa tak sekadar jadi slogan di Hari Pendidikan.
Setiap tanggal 2 Mei dikenang sebagai hari lahir Ki Hadjar Dewantara, sosok pelopor pendidikan bangsa. Lahir pada 2 Mei 1889 dan wafat 26 April 1959, jejak perjuangannya tetap hidup hingga hari ini. Kisahnya bukan hanya tentang sekolah, tapi tentang keberanian menantang batas dan ketidakadilan sosial. Salah satu bentuk nyata dari keteladanannya adalah keputusan melepaskan gelar Raden Mas. Ia memilih jalan egaliter, meninggalkan simbol status demi kedekatan dengan rakyat dan murid-muridnya. Tindakan itu bukan sekadar simbolis, melainkan pernyataan politik terhadap hierarki sosial yang membatasi. Baginya, pendidikan harus menjadi jembatan, bukan tembok yang memisahkan berdasarkan asal dan gelar. Namun, hari ini cenderung situasinya terasa terbalik: akses pendidikan kian dipagari oleh elitisme dan kapital. Simbol kebangsawanan berganti rupa menjadi gelar, sertifikat, dan biaya yang tak semua mampu bayar. Dari hak menjadi barang dagangan, pendidikan terperangkap dalam logika pasar yang makin eksklusif. Warisan pemikiran Ki Hadjar mengajak untuk kembali bertanya: untuk siapa sesungguhnya pendidikan itu? Apakah masih untuk membebaskan? Jika dulu pendidikan diperjuangkan sebagai hak, kini ia cenderung semakin bergeser menjadi komoditas yang diperdagangkan dalam logika kapital.
Masih terpatri dalam ingatan pelajaran sejarah tentang lahirnya Perguruan Taman Siswa, sebuah tonggak perjuangan sunyi namun bermakna. Lembaga ini dibangun untuk membuka pintu bagi anak-anak pribumi, yang selama ini tersisih dari ruang belajar. Di masa kolonial, hanya kaum priyayi dan warga Belanda yang dianggap layak mengakses pendidikan. Namun, melalui Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara memperjuangkan hak belajar bagi semua, tanpa memandang asal-usul. Ia menanam gagasan bahwa pendidikan sejati harus adil, merata, dan memanusiakan setiap anak bangsa. Taman Siswa bukan sekadar sekolah, tapi wujud nyata harapan akan masa depan yang lebih setara. Dalam kesederhanaannya, ia menjadi simbol perlawanan terhadap diskriminasi dan ketimpangan sosial. Nilai-nilai inilah yang menjadikan warisan Ki Hadjar terus relevan dan layak dirawat hingga kini.
Perlu diapresiasi terkait karakter kerendahhatian dan jiwa yang konsisten Bapak pendidikan Indonesia ini. Hal ini tampak sebuah perjuangannya dalam ranah pendidikan yang menonjolkan konsep kebersamaan, keadilan dan kesamarataan dalam struktur sosial. Satu contoh kecil terkait hal ini adalah Beliau cenderung tidak menggunakan gelar kebangsawanannya yaitu Raden Mas. Bahkan akhirnya menghilangkan nama keningratannya tersebut. Nama asli Beliau adalah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, kemudian sejak tahun 1922 diubahnya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Justru kini nama Ki Hadjar Dewantara begitu harum dan sarat dengan inspirasi. Hal ini dapat diambil sebuah makna akan kerendahan hati. Beliau melakukan ini untuk bisa benar-benar konsisten dalam konsep kebersamaan tanpa harus membeda-bedakan berdasarkan struktur ataupun stratifikasi sosial.
Refleksi pada zaman sekarang, jika ada kecenderungan beberapa kalangan menonjolkan bahkan menjadi sebuah ranah perjuangan pencitraan menonjolkan nama-nama kebangsawanan. Tentunya menjadi bertitik tolak atau berlawanan dengan karakter Bapak pendidikan Indonesia ini. Pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara bukan sekadar pengembangan intelektualitas, tetapi juga pembentukan karakter yang integral dengan lingkungan sosial. Konsep sistem among yang diusungnya menekankan relasi yang berbasis kasih sayang, penghargaan terhadap perbedaan, serta kebebasan individu sesuai kodratnya. Namun, dalam struktur pendidikan modern yang masih dikuasai oleh logika teknokratis dan administratif, sistem among ini semakin sulit terwujud. Kebijakan pendidikan yang berorientasi pada angka dan sertifikasi sering kali melupakan aspek humanisme yang menjadi fondasi utama pendidikan emansipatoris. Jika pendidikan hanya fokus pada angka, sisi kritis manusia terabaikan. Logika kuantitatif membuat sistem among kehilangan daya emansipatorisnya. Tanpa kesadaran sosial, pendidikan berubah jadi alat produksi nilai semata. Sistem among pun tinggal wacana tanpa daya dalam kerangka institusional kaku.
Apakah pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara? Boetasono, dkk (2014) bahwa pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah “daya upaya memajukan bertumbuhnya budi pekerti, pikiran dan tubuh anak. bagian-bagian tersebut tidak boleh dipisahkan agar dapat memajukan kesempurnaan anak”. Ki Hadjar Dewantara mengungkapkan bahwa pendidikan yang sesuai dengan kepribadian bangsa yaitu dengan sistem among. Hakim (2016:84) menjelaskan bahwa pendidikan among tersebut adalah sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Kekeluargaan berarti guru dan dosen mendidik dengan kasih sayang dan saling menghormati. Mereka harus menghargai perbedaan, menumbuhkan tolong-menolong, dan menjaga semangat gotong royong. Pendidikan harus berlandaskan pada kodrat alam dan kemerdekaan, memberi kebebasan pada peserta didik. Setiap individu harus diberi ruang berkembang sesuai dengan potensi dan karakter kodratnya.

Idealisme pendidikan Ki Hadjar Dewantara tetap relevan meski budaya kuasa sering menguasai pendidikan. Tri sentra pendidikan, yang terdiri dari keluarga, sekolah, dan masyarakat, seharusnya mengutamakan nilai karakter, kasih sayang, dan kerjasama.Tiga ajaran Ki Hadjar yang dijabarkan Rahayu (2014: 73) mencakup: (1) Tri sentra pendidikan yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. (2) Trilogi kepemimpinan ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. (3) Tri sakti jiwa yaitu cipta, rasa, dan karsa. (4) Tri Nga yaitu ngerti, ngrasa, nglakoni. (5) Tri N yaitu niteni, nirokke nambahi. Konsep-konsep ini menekankan pentingnya pembentukan karakter dalam pendidikan. Di era digital, cyber media dan teknologi mendukung pengembangan nilai-nilai ini lebih jauh. Perspektif posthuman mengaburkan batas antara manusia, mesin, dan lingkungan, memperluas interaksi Tri Sentra melalui dunia siber. Pendidikan menjadi lebih inklusif dan dinamis dengan keluarga, sekolah, dan masyarakat yang saling terkoneksi (lihat ilustrasi gambar).
Pierre Bourdieu menunjukkan pendidikan sebagai alat reproduksi dominasi kelas yang halus. Sekolah bukan sekadar tempat belajar, tetapi medan reproduksi habitus kelas berkuasa. Habitus dominan diselipkan melalui kurikulum, metode, hingga sistem evaluasi akademik formal. Standar sekolah sering mencerminkan nilai-nilai kelas atas, bukan keberagaman budaya sosial. Anak dari kelas bawah tersingkir diam-diam lewat eksklusi akademik yang sistematis. Pendidikan menjadi ruang pelanggengan ketimpangan, bukan alat mobilitas sosial yang setara. Menurut Hidayat (2011), pendidikan memperpanjang kontrol kelas dominan lewat budaya dominannya. Budaya yang dominan itu disalurkan tanpa sadar lewat sistem sekolah yang tampak netral. Teori reproduksi Bourdieu menyorot ketimpangan struktural dalam institusi yang tampak objektif. Martono (2012) menyebut sekolah sebagai ladang kekerasan simbolik yang tak disadari. Kekerasan simbolik memaksa siswa kelas bawah menerima habitus kelas dominan tanpa sadar. Peraturan sekolah, materi ajar, hingga nilai disiplin bias terhadap kelas atas. Siswa kelas bawah perlahan merasa gagal karena tak cocok dengan habitus dominan itu. Kurikulum tersembunyi bekerja diam-diam, membentuk kepatuhan tanpa harus dipaksakan secara terang. Inilah bagaimana pendidikan, yang tampak netral, justru menjadi alat kekuasaan simbolik.
Hasil penelitian Pierre Bourdieu terkait kekerasan simbolik ini bisa dijadikan refleksi terkait pendidikan. Hal ini termasuk pola asuh orang tua kepada anak, kehidupan organisasi sosial dan perenting. Akankah inspirasi Ki Hadjar Dewantara terkait perjuangan persamaan tanpa ketimpangan dalam dunia pendidikan bisa terwujud hingga saat ini? Tentunya semuanya bisa menjawabnya dengan melihat realitas pendidikan dan realitas karaktar anak-anak saat ini.

Di Indonesia, kekerasan simbolik Bourdieu relevan dalam membaca dunia pendidikan dan keluarga. Pola asuh, sekolah, dan struktur sosial bersama membentuk karakter anak sejak dini. Sistem pendidikan menanamkan nilai seragam yang mengabaikan keberagaman latar sosial budaya. Penyeragaman nilai dan disiplin memperkuat dominasi kelas sosial secara tidak kasatmata. Anak-anak tumbuh dalam tatanan yang menormalisasi hierarki dan ketimpangan sosial. Sekolah tak netral; ia memproduksi ketaatan pada nilai-nilai kelas berkuasa. Pendidikan karakter bukan hanya soal moralitas, tapi perjuangan membongkar struktur dominan. Karakter dan spiritualitas butuh ruang bebas dari kontrol simbolik yang halus. Membebaskan pendidikan berarti menantang warisan sistem yang elitis dan hierarkis. Spiritualitas dalam pendidikan harus menyentuh akar ketimpangan sosial yang tersembunyi.
Pendidikan karakter bukan hanya seruan moral, tapi bagian dari mekanisme kontrol sosial. Jika tak dibaca kritis, ia bisa memperkuat relasi kuasa yang sudah mapan. Nilai-nilai karakter sering kali ditanamkan tanpa menyentuh akar ketimpangan struktural. Alih-alih membebaskan, pendidikan karakter bisa jadi alat kekuasaan simbolik yang halus. Ia menuntut ketaatan, bukan keberdayaan, terutama bagi kelompok yang terpinggirkan secara sosial. Karakter kemudian dibentuk sesuai norma dominan, bukan realitas hidup yang beragam. Hegemoni bekerja lewat bahasa moral, menjinakkan potensi kritis anak sejak dini. Maka, pendidikan karakter harus dibebaskan dari etika normatif yang menindas perbedaan. Ia perlu diarahkan untuk membongkar struktur sosial yang mengekang kebebasan individu. Pendidikan sejati mendidik kesadaran, bukan sekadar ketaatan tanpa ruang untuk bertanya
Untuk meruntuhkan budaya kuasa, refleksi kritis atas pendidikan sangatlah penting. Kekerasan simbolik kerap tersembunyi dalam praktik sosial yang membentuk hidup anak. Pengalaman anak tak lahir begitu saja, melainkan hasil dari struktur dan relasi kuasa. Karena itu, mendidik bukan sekadar mengajar, tapi juga membongkar tatanan sosial menindas. Puisi klasik Children Learn What They Live memberi gambaran lembut tentang realitas itu.
Dorothy Law Nolte menulisnya pertama kali pada 1954 di Torrance Herald. Puisi ini menyuarakan bagaimana anak dibentuk oleh lingkungan yang terus-menerus dialami.Nilai, cinta, dan kekerasan. Semua itu terekam dalam tubuh dan jiwa anak. Versi asli dan terjemahannya bisa membantu kita merenungkan arah pendidikan yang manusiawi. Puisi ini relevan sebagai jembatan antara refleksi personal dan kritik sosial yang tajam. Berikut ini disajikan puisi tersebut dalam versi asli dan terjemahan bahasa Indonesia:
- Jika anak dibesarkan dengan celaan, mereka belajar memaki (If children live with criticism, they learn to condemn).
- Jika anak dibesarkan dengan permusuhan/kekerasan, mereka belajar berkelahi (If children live with hostility, they learn to fight).
- Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, mereka belajar rendah diri (If children live with fear, they learn to be apprehensive).
- Jika anak dibesarkan dengan hinaan, mereka belajar menyesali diri. (If children live with pity, they learn to feel sorry for themselves).
- Jika anak hidup dengan ejekan, mereka belajar untuk merasa malu (If children live with ridicule, they learn to feel shy).
- Jika ada hidup dengan kecemburuan, mereka belajar untuk merasa iri (If children live with jealousy, they learn to feel envy).
- Jika anak hidup dengan rasa malu, mereka belajar untuk merasa bersalah. (If children live with shame, they learn to feel guilty).
- Jika anak dibesarkan dengan dorongan, mereka belajar percaya diri (If children live with encouragement, they learn confidence).
- Jika anak dibesarkan dengan toleransi, mereka belajar menahan diri (If children live with tolerance, they learn patience).
- Jika anak hidup dengan pujian, mereka belajar apresiasi (If children live with praise, they learn appreciation).
- Jika anak hidup dengan penerimaan, mereka belajar untuk mencintai (If children live with acceptance, they learn to love).
- Jika anak dibesarkan dengan dukungan, mereka belajar menyenangi dirinya (If children live with approval, they learn to like themselves).
- Jika anak hidup dengan pengakuan, mereka belajar bahwa baik untuk memiliki tujuan. (If children live with recognition, they learn it is good to have a goal).
- Jika anak hidup dengan berbagi, mereka belajar kemurahan hati
(If children live with sharing, they learn generosity). - Jika anak hidup dengan kejujuran, mereka belajar kebenaran sejati
(If children live with honesty, they learn truthfulness). - Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, mereka belajar keadilan (If children live with fairness, they learn justice).
- Jika anak dibesarkan dengan pujian, mereka belajar menghargai (If children live with kindness and consideration, they learn respect).
- Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, mereka belajar menaruh kepercayaan. (If children live with security, they learn to have faith in themselves and in those about them).
- Jika anak-anak hidup dengan persahabatan mereka belajar bahwa dunia adalah tempat yang indah untuk hidup. (If children live with friendliness, they learn the world is a nice place in which to live).
Puisi ini bukan sekadar nasihat moral, tapi ajakan untuk memahami pengalaman anak. Lingkungan tempat anak tumbuh akan membentuk cara mereka berpikir dan bersikap. Pengalaman sehari-hari menciptakan kebiasaan yang membentuk karakter hingga dewasa nanti. Karena itu, pendidikan karakter tak cukup disampaikan lewat aturan atau ceramah moral. Ia harus hadir dalam keseharian yang penuh keteladanan, empati, dan keadilan sosial.
Hari Pendidikan Nasional semestinya menjadi waktu untuk merenung bersama, bukan sekadar seremonial. Guru, orang tua, akademisi, dan pembuat kebijakan perlu bertanya lebih dalam. Apakah pendidikan kita sudah membuat anak tumbuh bebas, kritis, dan berdaya? Atau justru tanpa sadar membentuk mereka tunduk pada aturan yang tak adil? Pendidikan seharusnya menjadi ruang yang memberi harapan, bukan hanya menuntut kepatuhan.
Teladan Ki Hadjar Dewantara tak cukup dikenang, tapi perlu diwujudkan dalam tindakan nyata.
Selamat Hari Pendidikan Nasional untuk semua yang mengajar dengan hati dan kesadaran. Semoga pendidikan kita makin berpihak pada kemanusiaan, keberagaman, dan keadilan sosial. Terima kasih telah membaca, semoga tulisan ini menginspirasi langkah-langkah kecil yang berarti.
Karena pendidikan sejati hidup bukan di teks (dalam arti sempit), tapi di sikap dan tindakan sehari-hari.
Bibliografi:
Bourdieu, P. (1990). The logic of practice (R. Nice, Trans.). Stanford University Press.
Bourdieu, P., & Passeron, J.-C. (1990). Reproduction in education, society and culture (R. Nice, Trans.). Sage Publications.
Dewantara, K. H. (1962). Pendidikan: Bagian pertama (Cetakan ke-4). Taman Siswa.
Freire, P. (2005). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.
Hall, S. (1997). Representation: Cultural representations and signifying practices. Sage Publications.
Hakim, Andi (2016), “Meruntuhkan Budaya Kuasa dan Kekerasan pada Anak: Belajar dari Ki Hadjar Dewantara”. Jurnal Buana Gender-Vol 1 Nomor 1 Januari -Juni 2016.
Hidayat, Rakhmat, 2011. Pengantar Sosiologi Kurikulum. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Martono, Nanang. 2012. Kekerasan Simbolik di Sekolah Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Rahayu, Ayu (2015). “Penerapan Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam Pembelajaran untuk membentuk Peserta Didik Berkarakter Cerdas dan Berintegritas”. Jurnal Edukasi Volume X September 2013.
2 thoughts on “PENDIDIKAN KARAKTER DALAM BAYANG-BAYANG KEKERASAN SIMBOLIK”